Opini

STRATEGI KOMUNIKASI DENGAN KELOMPOK DISABILITAS

oleh : Thomas Budiono Anggota KPU Kota Tegal Divisi Sosialisasi dan Pendidikan Pemilih dan SDM Sosialisasi kepada penyandang disabilitas merupakan keharusan yang tidak bisa ditawar. Program kerja sosialisasi dan pendidikan pemilih untuk kelompok yang berkebutuhan khusus ini harus dirancang matang sejalan dengan kebutuhan audien. Proses pembelajarannya tidak sama seperti kelompok masyarakat normal pada umumnya, perlu ada proses pendekatan yang spesifik berkomunikasi dan bersosialisasi dengan mereka. Memang tidak mudah untuk menggelar sebuah kegiatan yang melibatkan komunitas disabilitas ini. Butuh kerja cerdas, kerja ikhlas dan kerja tuntas. Dibutuhkan pendekatan objektif rasional untuk mendekatinya. Diperlukan ketulusan dan kesungguhan, termasuk hati yang ikhlas untuk mencapai tujuan pendidikan di kalangan komunitas berkebutuhan khusus ini. Tujuan akhir kerja ini adalah meningkatnya angka partisipasi di kalangan disabilitas. Dalam sebuah pesta demokrasi, tingkat partisipasi masyarakat merupakan hal yang penting. Indikator ini menjadi penting karena sosialisasi dan partisipasi harus berjalan sepanjang waktu. Bahkan pendidikan pemilih harus berjalan terus menerus di luar batas-batas tahapan. Tak ada kata berhenti untuk melakukan sosialisasi dan pendidikan politik, meski tidak ada anggaran sekalipun. Lebih dari itu, tingkat partisipasi masyarakat masih menjadi tolok ukur keberhasilan sebuah perhelatan besar yang bernama pesta demokrasi. Secara ril, partisipasi kehadiran masyarakat ke lokasi tempat pemungutan suara, bukan satu satunya alat ukur untuk menunjukkan tinggi rendahnya tingkat partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat masih bisa dilihat dari betapa besar antusiasme masyarakat ikut serta menjadi badan penyelenggara, seperti Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), Petugas KPPS, Pengawas Kelurahan atau Pengawas Lapangan di TPS TPS. Hingar bingarnya partisipasi ini pun bisa ditengok betapa besar kesertaan masyarakat untuk hadir dalam setiap kampanye yang digelar oleh partai politik atau pasangan calon presiden dan wakil presiden. Bahkan ada yang menilai tingkat partisipasi masyarakat bisa ditelisik dari sisi betapa besar keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan tahapan. Misalnya, dalam tahapan mempersiapkan dan pemenuhan kebutuhan logistik oleh para pengusaha atau kontraktor, melibatkan para seniman dalam menciptakan jingle atau maskot pemilihan dan melaksanakan kegiatan sosialisasi, mengerahkan warga sekitar kantor dalam proses pelipatan surat suara serta keikutsertaan warga masyarakat dan pelajar dalam proses sosialisasi. Intinya, tingkat partisipasi masyarakat dalam Pemilu Serentak 2019 melibatkan semua komponen masyarakat, termasuk komponen masyarakat penyandang disabilitas. Sebagaimana diketahui kelompok disabilitas dengan berbagai kelebihan dan keterbatasannya, tidak sama persis dengan warga masyarakat yang normal. Pertanyaannya, bagaimana cara berkomunikasi dan bersosialisasi kepada  kelompok masyarakat disabilitas ini dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya? Adakah kekurangan dan keterbatasan teman-teman disabilitas ini justru menjadi nilai tambah dalam proses Pemilu 2019 di Kota Tegal? Pandangan masyarakat terhadap sosok disabilitas sangat beragam. Ada yang melihat kelompok disabilitas adalah warga masyarakat yang memiliki kekurangan-kekurangan sejalan dengan parah dan tidaknya tingkat kekurangannya. Ada pula yang memandang dari sisi kebutuhannya. Maka kelompok ini dikategorikan sebagai komunitas yang berkebutuhan khusus. Baik dalam perilaku maupun kebutuhan perlakuan dari orang-orang di sekitarnya. Bahkan lebih dari itu, proses pendidikannya pun membutuhkan proses pembelajaran khusus. Guru di Sekolah Luar Biasa itu harus memiliki sertifikasi khusus. Sertifikasi yang merujuk pada kondisi pada masing-masing kelompok belajar disabilitas. Metode, alat peraga dan jumlah anak pun harus dibatasi dalam satu kelompok belajar tertentu. Cara berkomunikasi pun harus diketahui dan dimiliki secara khusus. Termasuk realitas kejiawaan dan kondisi batin penyandang keterbatasan ini. Ada pula yang menilai bahwa komunitas disabilitas adalah orang normal yang memiliki kekurangan tertentu. Akibat dari cara pandang ini, mengharuskan kita membantu kelompok warga masyarakat ini. Mereka dinilai sebagai kelompok yang perlu dan patut dikasihani. Perlu dibantu dengan berbagai fasilitasnya. Maka muncul fasilitas-fasilitas publik yang diperuntukkan bagi kelompok ini. Namun apapun kekurangan dan kelebihannya, komunitas disabilitas bisa dipetakan sebagai berikut: Buta (tuna netra) yang adalah orang yang tidak bisa melihat dengan kedua matanya. Meski demikian, orang dengan cacat netra ini biasanya memiliki kemampuan dan kelebihan dalam mendeteksi benda benda yang ada di sekitarnya, dengan memaksimalkan kemampuan pendengarannya. Ia mengenali objek dengan menggunakan suara atau getaran yang ditangkap melalui pendengarannya. Tuli (tuna rungu), adalah orang yang tidak memiliki kemampuan mendengar sebagaimana orang normal. Bagi yang belum parah, orang dengan disabilitas ini masih bisa menggunakan alat bantu pendengaran sehingga alat pendengarannya bisa berfungsi dengan baik. Bisu (tuna rungu wicara). Orang bisu adalah orang yang tak bisa berbicara dengan orang lain. Biasanya, tuna wicara ini diderita oleh seseorang sejak kelahirannya dan tidak terdeteksi oleh orang tua atau dokter. Akibat tidak diketahui secara dini maka menyebabkan anak menjadi kesulitan untuk belajar berbicara secara normal. Cacat Fisik (tuna daksa), orang dianggap mengalami tuna daksa bila mengalami kecacatan fisik, cacat tubuh, kelainan, kerusakan yang diakibatkan oleh kerusakan otak, kerusakan saraf tulang belakang, akibat kecelakaan serta cacat sejak lahir. Contoh yang paling mudah dari tuna daksa ini adalah orang yang tangannya buntung, kakinya lumpuh atau anggota badan lainnya, baik bentuk dan besarannya tidak bisa berfungsi secara normal. Biasanya mengecil atau pertumbuhannya lambat. Keterbelakangan Mental (tuna grahita). Orang yang tuna grahita adalah orang yang mengalami keterbelakangan mental sehingga memiliki tingkat kecerdasan yang rendah. Biasanya dibawah rata rata kecerdasan orang normal. Ciri keterbelakangan kecerdasan dan mentalnya dapat dilihat dari kelainan fisik maupun perilaku abnormal yang sering ditunjukkan dalam kehidupan sehari-harinya. Cacat Pengendalian Diri (tuna laras), orang yang tuna laras adalah orang yang memiliki kesulitan dalam pengendalaian diri, seperti pengendalian emosi, sulit bergaul, senang menyendiri, kepercayaan diri sangat rendah, senang berbuat jahat, malu tampil di depan umum dan lain sebagainya. Termasuk orang yang cacat suara dan ada juga termasuk ke dalam golongan tuna laras. Cacat Kombinasi (tuna Ganda), orang yang tuna ganda adalah orang yang mengalami kecacatan lebih dari satu macam. Misalnya seperti orang yang mengalami cacat tangan sekaligus mengalami kebutaan permanen. Atau orang yang mengalami keterbelakangan mental (idiot) sekaligus memiliki cacat pendengaran atau tulis. Sensitivitas Tinggi Bagi Komisioner KPU Kota Tegal yang tidak memiliki sertifikat keahlian untuk berkomunikasi dan bersosialisasi dengan komunitas disabilitas, memang sangat sulit untuk menyampaikan pesan dan kontens sosialisasi. Tetapi bukan berarti tidak bisa melakukan komunikasi dan dialog dengan kalangan mereka. Berikut ini ada cacatan kendala dan kekurangan dalam bersosialisasi dan berkomunikasi dengan kalangan disabilitas: Tunanetra Pertama, Bersosialisasi dan berkomunikasi dengan disabilitas cacat netra memang tidak terlalu sulit. Kita bisa berkomunikasi verbal dengan mereka. Hanya saja, kita tidak bisa menggunakan alat peraga sembarangan. Artinya, jika kita harus menggunakan alat peraga surat suara misalnya, harus dilengkapi dengan tulisan huruf alphabet braille. Dimaksudkan para penyandang cacat netra ini bisa membaca melalui huruf braille. Masih ada cara lain untuk memberikan informasi yang berupa gambar atau bentuk sebuah alat peraga. Audio Visual Aids itu kita ceritakan kepada cacat netra soal bentuk, ukuran, warna, isi, kompisisi, jenis  dan seterusnya, agar audiens dari mereka bisa memiliki gambaran utuh soal alat peraga yang kita tunjukkan kepada mereka. Untuk mengumpulkan, komunitas tuna netra dalam sebuah arena sosialisasi, bukanlah hal yang mudah. Sebagian besar mereka harus diantar oleh saudaranya atau dijemput oleh panitia sosialisasi. Maka ketika akan mengumpulkan tuna netra, kita harus menjemput satu per satu atau memberikan biaya transport kepada mereka. Anggaran yang terbatas untuk membuat alat peraga. Dalam Pemilu Serentak 2019 hanya ada satu alat peraga surat suara. Yakni alat peraga dan template atau alat bantu coblos. Padahal surat suara yang harus dicoblos ada lima lembar. Tuna Rungu Wicara Di Kota Tegal, sebagian besar penyandang tuna rungu wicara ini tidak masuk ke jenjang pendidikan formal di Sekolah Luar Biasa. Akibatnya, mereka tidak mampu memahami dan menguasai bahasa isyarat yang berstandar nasional. Sebagian mereka hanya mengetahui bahasa isyarat yang digunakan sehari-hari. Persoalannya, sukarelawan yang melakukan sosialisasi ini tidak bisa menggunakan bahasa isyarat nasional, tetapi harus menyesuaikan bahasa isyarat sehari-hari. Semua penyanda disabilitas memiliki sensitivitas yang tinggi. Terutama peyandang tuna rungu wicara ini. Meski mereka terkendala untuk berkomunikasi lisan dan pendengarannya, mereka mudah tersinggung bila mendengar cara komunikasi yang berteriak atau setengah membentak. Untuk komunikasi dengan kelompok ini harus jelas, tegas, lugas. Tetapi jangan sampai audiennya merasa kita berteriak-teriak ketika komunikasi dengan mereka. Mereka mudah tersinggung. Mereka mudah patah semangat. Maka kita sebagai relawan dan petugas sosialisasi harus memahami kondisi psikologis mereka yang sangat sensitif. Untuk mengatasi kendala dan keterbatasan berkomunikasi ini, biasanya kami bekerjasama dengan penyandang tuna rungu wicara yang mampu menggunakan Bahasa Isyarat Nasional dan sekaligus paham dengan cara komunikasi sehari-hari. Sosok inilah yang kita gunakan untuk menularkan materi sosialisasi dan pendidikan pemilih dikalangan tuna rungu wicara. Tuna Grahita Sosialisasi dan Pendidikan Pemilih di kalangan penyandang keterbatasan mental ini harus sangat hati-hati dan sabar. Bahkan harus ekstra hati-hati dan ekstra sabar. Betapa tidak, untuk menjelaskan satu persoalan kepada mereka, harus sering diulang dan diulang. Ingatan mereka tidak terlalu setia, sehingga relawan harus mengulang dua hingga lima kali penjelasannya. Setelah diulang dan paham, baru menginjak ke materi berikutnya. Yang paling harus diperhatikan, relawan tidak boleh terlena menguasai perhatian dan titik focus peserta. Mereka tidak boleh perhatiannya pecah dengan teman-temannya. Kelompok ini termasuk komunitas yang mudah terperangaruh dengan orang-orang yang ada di sekitarnya, termasuk teman sekelasnya. Sebagai ilustrasi, untuk menjelaskan benda yang bernama bola, seorang relawan harus memegang bola dan audiens harus melihat benda itu. Sementara dari mulut relawan mengeluarkan perkataan : “…. boooo … laaaaaa …..”. Ada dua aspek yang disasar, yakni aspek kognitif mereka dan aspek visual mereka melihat benda yang sedang mereka pelajari. Kesulitan ini juga dihadapi relawan ketika harus berkomunikasi dengan Tuna Laras dan Tuna Ganda. Mereka harus diajak lebih fokus dan lebih  berkonsentrasi untuk menyampaikan pesan. Cacat ini memerlukan penanganan lebih khusus, serius, sabar dan terus menerus. Kita harus menjadi orang yang lebih memahami kondisi mereka. Sebab kondisi disabilitas yang mereka sandang bukan pilihan, tetapi sesuatu yang terberikan. Mereka terlahir dalam kondisi yang sedemikian adanya dan mereka harus menerima dan menanggungnya, tanpa ada kesempatan untuk menawarnya. Nah. (*)

PERSPEKTIF CALON DAN PENCALONAN PEMILIHAN

Oleh: Almudatsir Sangadji Anggota Komisi Pemilihan Umum Provinsi Maluku KPU sedang merampungkan PKPU Perubahan Kedua Atas PKPU Nomor 3 Tahun 2017 Tentangg Pencalonan Pemilihan Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan/atau Walikota dan Wakil Walikota. Salah satu bagian penting dari perubahan tersebut, yakni mengenai penetapan syarat minimal dukungan dan sebaran bakal pasangan calon perseorangan, sudah harus dirampungkan sebelum pendaftaran. Selain itu aspek pencalonan, menjadi bagian yang perlu diedukasi agar calon dan partai politik dapat menyiapkan diri dalam tahapan pencalonan dengan baik. Persyaratan Calon Dalam Pemilihan dikenal persyaratan calon dan persyaratan pencalonan. Persyaratan calon merujuk pada pemenuhan syarat pendidikan, usia, kesehatan, status putusan hukum, tidak pailit dan menyerahkan daftar kekayaan pribadi. Selain itu calon juga harus bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan setiap kepada Pancasila dan UUD 1945 dan lainnya. Pasal 4 ayat (1) huruf d Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan/atau Walikota dan Wakil Walikota, misalnya menentukan syarat usia 30 tahun Calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan 25 tahun untuk calon Bupati dan Wakil Bupati dan/atau Walikota dan Wakil Walikota. Sedangkan dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c menentukan syarat pendidikan paling rendah sekolah lanjutan atas atau sederajat untuk semua jenis syarat calon. Juga diatur pembatasan dua kali masa jabatan, yang tidak lagi dapat mencalonkan diri. Pasal 4 ayat (1) huruf o angka 1 menentukan penghitungan dua kali masa jabatan, diantaranya 5 tahun penuh periode pertama dan paling sedikit 2,5 tahun di periode kedua. Dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama dimaknai secara berturut-turut atau tidak berturut-turut. Artinya seorang bupati atau wakil bupati, yang tidak terpilih pada periode berikutnya, namun terpilih pada periode yang lain untuk jabatan yang sama, dia dapat dihitung dua peroode menjabat. Bagaimana jika bupati yang sudah dua kali menjabat di daerah A, mencalonkan dirinya kembali di daerah B atau daerah C? Pasal 4 ayat (1) huruf o angka 2 huruf b, menegaskan mereka tidak lagi apat mencalonkan diri di daerah B atau daerah C. Ketentuan a quo berbyunyi : “2 kali masa jabatan dalam jabatan yang sama meliputi 2 kali dalam jabatan yang sama di daerah yang sama atau di daerah yang berbeda”. Selanjutnya pembatasan vertikal ke bawah dikenakan bagi mereka yang pernah menjabat Gubernur, Wakil Gubernur Bupati dan/atau Walikota yang akan mencalonkan diri untuk jabatan dibawahnya. Misalnya Gubernur tidak mencalonkan diri bagi jabatan Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati dan/atau Walikota atau Wakil Walikota. Wakil Gubernur tidak mencalonkan diri untuk Bupati atau Wakil Bupati dan/atau Walikota dan Wakil Walikota. Pula halnya bagi Bupati atau Walikota dilarang mencalonkan diri untuk Wakil Bupati atau Wakil Walikota. Yang tidak dilarang yakni pencalonan vertikal ke atas, yakni Wakil Gubernur mencalonkan diri untuk jabatan Gubernur dan seterusnya untuk wakil bupati dan wakil walikota mencalonkan diri untuk jabatan Bupati atau Walikota. Bagi patahana yang mencalonkan diri di daerah lain, akan berhenti dalam jabatannya, sejak ditetapkan sebagai calon. Misalnya Bupati di daerah A, mencalonkan diri dan ditetapkan seabagai calon di daerah B, maka dia harus berhenti dalam jabatannya di daerah A. Berlaku juga Bupati atau Walikota yang mencalonkan diri untuk jabatan Gubernur atau Wakil Gubernur. Sedangkan Patahana yang maju kembali di daerahnya, hanya dikenakan cuti selama masa kampanye. Tidak halnya dengan penjabat Gubernur, Bupati, dan/atau Walikota, mereka tidak boleh mencalonkan diri. Persyaratan Pencalonan Persyaratan pencalonan mengatur bagaimana mekanisme pencalonan, yang dilakukan oleh partai politik atau melalui jalur perseorangan. Partai politik dapat mengusung calon melalui dua opsi : akumulasi 20 persen jumlah kursi atau akumulasi 25 persen jumlah suara. Dua opsi ini dapat dilakukan tanpa koalisi atau melalui gabungan partai politik. Artinya partai politik yang memperoleh 20 persen kursi di DPRD, atau akumulasi perolehan 25 persen suara hasil Pemilu legislatif, dapat mengusung calon tanpa gabungan dengan partai politik lainnya. Kecuali partai tersebut tidak memenuhi angka minimal 20 persen kursi atau 25 persen suara. Partai dapat mengusung calon dengan koalisi dengan partai politik lainnya. Dalam hal partai mencalonakan dengan akumulasi suara, apakah dapat berkoalisi dengan partai yang tidak memperoleh kursi? Pasal 5 ayat (3) menyatakan : “ Dalam hal Partai Politik mengusulkan Bakal Pasangan Calon menggunakan ketentuan memperoleh paling sedikit 25 persen suara dari akumulasi perolehan suara sah, ketentuan tersebut hanya berlaku bagi Partai Politik yang memperoleh kursi di DPRD pada Pemilu Terakhir”. Selain pencalonan melalui partai politik, juga dimungkingkan pencalon melalui jalur dukungan perseorangan. Syaratnya bakal pasangan calon harus mendapatkan dukungan pemilih yang terdaftar dalam daftar pemilih Pemilihan atau Pemilu terakhir, dengan jumlah dari 10% s.d. 6,5%. Untuk Pemilihan Gubernur diatur jumlah dukungan 10 persen bila penduduk yang terdaftar dalam daftar pemilih tetap sampai dengan 2 juta jiwa, 8,5 persen dukungan lebih dari jumlah 2 juta s.d. 6 juta jiwa, 7,5 persen lebih dari jumlah 6 juta s.d. 12 juta dan 6,5 persen untuk di atas 12 juta jiwa. Untuk Pemiliha Bupati dan Walikota 10 persen untuk sampai dengan 250 ribu jiwa, 8,5 persen lebih dari 250 ribu s.d. 500 ribu, 7,5 persen lebih dari 500 ribu s.d. 1 juta dan 6,5 persen lebih dari 1 juta. Dukungan minimal tersebut harus memenuhi minimal sebaran 50 % di daerahnya, sehingga dalam proses penggalangan dukungan melalui jalur perseorangan, bakal pasangan calon harus memperhatikan jumlah minimal dan sebarannya. Sesuai PKPU Nomor 15 Tahun 2019 Tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota Tahun 2020, KPU yang akan menyelengarakan Pemilihan akan menetapkan jumlah minimal dukungan dan persebaran untuk jalur perseorangan tanggal 26 Oktober 2019. Sedangkan penyerahan dukungan dilakukan dari tanggal 9 Desember 2019 s.d. 3 Maret 2020 untuk Pemilihan Gubernur, dan tanggal 11 Desember 2019 s.d. 14 Maret 2020 untuk Pemilihan Bupati dan Walikota. KPU kemudian melakukan serangkaian kegiatan verifikasi administrasi dan verifikasi faktual. Penelitian administrasi dilakukan dengan meneliti dokumen pendukung dengan dokumen identitas, analisis dukungan ganda, serta pengecekan data dukungan dalam DPT dan/atau DP4. Sedangkan verifikasi faktual di Desa Desa/Kelurahan, kemudian dilakukan rekapitulasi pada tingkat kecamatan, Kabupaten/Kota dan Provinsi. Hasil rekapitulasi dukungan di KPU Kabupaten/Kota untuk pemilihan Bupati dan Walikota yang memenuhi syarat dan ditetapkan tanggal 12 Juni 2020 s.d. 14 Juni 2020, bakal pasangan calon perseorangan dapat melakukan pendaftaran di KPU Kabupaten/Kota bersamaan dengan bakal pasangan calon yang diusung oleh partai politik tanggal 16 Juni 2020 s.d. tanggal 18 Juni 2020. (*)

KUALITAS PEMILU 2019 DARI 5 INDIKATOR

Oleh Agus Hasan Hidayat (Anggota KPU Kabupaten Kebumen Divisi Sosdiklih Parmas dan SDM) Seluruh tahapan Pemilu Serentak 2019 telah dilaksanakan secara paripurna. Keseluruh tahapan ini tertuang dengan PKPU Nomor 14 tahun 2019 tentang Perubahan Kelima atas PKPU No 7 Tahun 2017 tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2019 yang secara resmi dimulai pada tanggal 17 April 2017 dan diakhiri pada tanggal 9 Agustus 2019 dengan pembacaan akhir putusan Mahkamah Konstitusi terhadap PHPU peserta pemilu serentak tahun 2019. Tentu perjalanan penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019 ini tidak begitu saja lancar dan mulus, ada beberapa kendala yang menghiasinya namun patut disyukuri bahwa seluruh kendala tersebut dapat terselesaikan dengan baik. Setelah terlampaui seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilu 2019 ini, penilaian kinerja sebagai bentuk evaluasi kelembagaan tentu saja dibutuhkan demi mencatat dan menjaga keberhasilan yang telah dicapai. Juga sebagai rujukan dalam meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemilu di kemudian hari. Menurut Kemitraan dan Perludem (2015) bahwa kualitas penyelenggaraan pemilu secara demokratis dapat diukur melalui 7 (tujuh) indikator yaitu Pertama, sistem pemilu sesuai dengan karakteristik masyarakat dan sistem politik demokrasi yang hendak diwujudkan. Kedua, payung hukum seluruh tahapan proses penyelenggaraan pemilu harus menjamin kepastian hukum yang dirumuskan berdasarkan asas pemilu yang demokratis. Ketiga, kompetisi peserta pemilu yang bebas dan adil. Keempat, penyelenggara pemilu yang profesional dan independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Kelima, proses pemungutan dan penghitungan suara yang dilaksanakan dengan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Keenam, sistem penegakan hukum pemilu yang dilakukan secara adil dan tepat waktu. Ketujuh, partisipasi masyarakat dalam proses penyelenggaraan pemilu. Sedangkan menurut Susilo Bambang Yudhoyono (2011) saat membuka Konferensi Komisi Pemilihan Umum se-ASEAN bahwa indikator pemilu berkualitas terdiri dari 5 (lima) hal, Pertama, sistem pemilu yang tepat dan harus mencerminkan sistem yang free dan fair. Kedua, kelembagaan penyelenggara pemilu yang kredibel. Ketiga, manajemen Pemilu yang benar dan efektif. Keempat, kesadaran dan pengetahuan masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya. Serta Kelima, Pemilu yang tertib tanpa kekerasan dan aksi anarkis. Merujuk pada 2 (dua) pendapat diatas yang secara subtantif memiliki kesamaan indikator, penulis mengambil 5 (lima) indikator dalam melakukan evaluasi sehingga dapat mengukur seberapa bagus kualitas pemilu yang telah dilaksanakan. Pertama, Indikator Pelaksanaan Azas dan Prinsip penyelenggaraan pemilu secara konsekuen. Upaya bangsa indonesia guna mewujudkan pemilu yang berkualitas adalah dengan meletakkan azas pelaksanaan pemilu yang tertuang dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 22E yang mempersyaratkan bahwa pemilu wajib dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Lebih detil pelaksanaan pemilu diatur dengan undang-undang No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum khususnya pada pasal 2 dan 3 yang mengatur terkait Azas serta prinsip diselenggarakannya pemilihan umum dan wajib diimplementasikan dalam setiap penyelengaaraan kepemiluan oleh para pemangku kepentingan (stakeholder) dalam pemilu. Secara prosedural, yang dapat dimaknai sebagai aspek tertib urutan dan jadwal tahapan penyelenggaraan pemilu, KPU Kabupaten Kebumen telah berhasil melaksanakan dan mematuhi seluruh azas dan prinsip-prinsip penyelenggaraan pemilu secara konsekuen. Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya satupun kejadian atau bentuk pelanggaran terkait dengan azas pemilu ataupun prinsip-prinsip penyelenggaraan pemilu 2019 di Kabupaten Kebumen. Sedangkan dari aspek ketepatan waktu serta ketertiban jadwal tahapan penyelenggaraan, semua dapat terpenuhi sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan yakni PKPU No 14 Tahun 2019 tentang Perubahan Kelima atas PKPU No 7 Tahun 2017 Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2019. Mulai dari awal penyelenggaraan baik tahapan pemutakhiran daftar pemilih, verifikasi pendaftaran partai politik, tahapan kampanye, masa tenang, pemungutan dan penghitungan suara di TPS, pleno rekapitulasi berjenjang tingkat PPK sampai KPU kabupaten, semua berjalan tanpa ada kendala atau permasalahan yang berarti dan tidak ada satupun tahapan terlewatkan bahkan terlambat dilaksanakanpun tidak. Dari aspek permasalahan terkait pelanggaran kode etik oleh penyelenggara pemilu di jajaran Badan Adhoc sampai jajaran KPU kabupaten kebumen selama tahapan pemilu serentak 2019 tidak pernah terjadi. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa integritas penyelenggara pemilu dapat terjaga dengan baik serta dapat bekerja secara profesional. Begitupula terkait aksesibilitas dan pelayanan kepada penyandang disabilitas tidak terdapat kendala maupun keluhan yang diterima oleh KPU Kabupaten Kebumen.  Kedua, penyelenggara pemilu yang kredibel. Sesuai dengan penjelasan UU Nomor 7 Tahun 2017 diterangkan  mengenai kelembagaan yang melaksanakan Pemilu, yakni KPU, Bawaslu, serta DKPP. Kedudukan ketiga lembaga tersebut diperkuat dan diperjelas tugas, wewenang dan kewajibannya serta disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam penyelenggaraan pemilu. Penguatan kelembagaan dimaksudkan untuk dapat menciptakan Penyelenggaraan pemilu yang lancar, sistematis, dan demokratis. Hal ini menunjukkan bahwa baik buruk kualitas pemilu dapat dilihat dari kinerja dan integritas penyelenggara pemilu dalam mengemban tugasnya. Betapa pentingnya menjaga profesionalitas, kinerja dan integritas penyelenggara pemilu dalam menciptakan pemilu yang memiliki legitimasi kuat di masyarakat. Dalam melaksanakan tugas, wewenang dan kewajibannya penyelenggara pemilu tentunya wajib berlandaskan pada azas, prinsip dan tujuan penyelenggaraan pemilu sesuai yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum. KPU beserta jajaran dibawahnya dalam pelaksanakan tugas, wewenang dan kewajibannya mengacu pada Buku Kedua Bab I bagian ketiga. Berdasarkan ketentuan regulasi tersebut penyelenggara pemilu khususnya KPU Kabupaten Kebumen selama penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019 tidak ada satupun jajarannya sampai di level terbawah yaitu KPPS yang tersandung permasalahan terkait pelanggaran kode etik maupun pidana. Tidak ada gejolak di masyarakat yang secara khusus mempertanyakan atau mempermasalahkan kredibilias dalam konteks indepedensi maupun netralitas penyelenggara pemilu di Kabupaten Kebumen. Dari aspek profesionalitas dalam melaksanakan tugas kepemiluan jajaran penyelenggara pemilu dari tingkat kabupaten hingga tingkat KPPS dapat memenuhi tugas yang diembannya secara baik dan disiplin. Namun disisi lain tidak dipungkiri terdapat korban penyelenggara pemilu yang gugur dalam tugas. Tercatat sebanyak 2 orang meninggal dunia, 4 orang mengalami keguguran janin, 1 orang mengalami stres dan sebanyak 73 orang menderita sakit sedang maupun ringan yang semua korban adalah para petugas di tingkat TPS. Hal ini menjadi sebuah catatan penting serta perhatian yang tinggi bagi KPU Kabupaten Kebumen untuk masa yang akan datang.  Ketiga, manajemen pemilu yang benar dan efektif. Kata benar jika mengikuti dan menyesuaikan difinisi kata KBBI maka manajemen pemilu yang benar adalah manajemen pemilu yang memiliki nilai sesuai sebagaimana adanya (sesuai ketentuan yang seharusnya); tidak berat sebelah (adil), lurus hati (konsisten), dapat dipercaya (berintegritas), sah (legitimate) dan penuh kesungguhan (dalam pelaksanaannya). Sedangkan kata efektif jika  mengikuti dan menyesuaikan difinisi KBBI maka manajemen pemilu yang efektif adalah manajemen pemilu yang memiliki nilai akibat atau pengaruh, berhasil guna (manfaat) dan dapat diberlakukan setiap keputusannya. Secara teknis kunci penting suksesnya pelaksanaan pemilu paling tidak adalah mengenai manajemen tahapan pelaksanaan dan penghitungan suara. Pada tahapan pelaksanaan pemilu KPU Kabupaten Kebumen beserta seluruh jajaran dibawahnya telah melaksanakan seluruh tahapannya dengan benar dan tanpa kesalahan prosedural satu pun. Dalam pengawasannya Bawaslu dan jajarannya tidak menemukan atau bahkan mendapatkan laporan terkait pelanggaran yang dilakukan oleh KPU Kabupaten Kebumen dan jajarannya, semua dalam koridor yang benar. Begitu pula pada proses penghitungan  dan rekapitulasi suara yang sejatinya merupakan ruh dari pemilu yakni mengetahui jumlah hasil perolehan suara rakyat (pemilih) dalam sebuah pemilihan umum yang terwujud menjadi kursi-kursi yang dimenangkan oleh partai dan kandidat, pada proses ini pun di Kabupaten Kebumen tidak terjadi kesalahan yang berarti sehingga berakibat mengurangi bahkan mencederai kualitas dari proses pemilu yang berlangsung. Bahkan sampai proses akhir tahapan dan jadwal keberatan terkait hasil pemilu, tidak ada satupun gugatan yang diajukan oleh peserta pemilu terhadap hasil pemilihan umum ke Mahkamah Konstitusi di wilayah Kabupaten Kebumen. Hal-hal tersebut diatas membuktikan bahwa manajemen kepemiluan yang dilakukan oleh KPU Kabupaten Kebumen beserta jajarannya telah berhasil mengawal proses pemilu dengan baik dan benar serta berlangsung secara efektif. Keempat, pengetahuan dan kesadaran masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya. Secara mendasar, penyelenggaraan pemilihan umum adalah dalam rangka memfasilitasi kedaulatan rakyat untuk melaksanakan hak dan kewajibannya secara demokratis memilih pemimpin atau wakil rakyatnya. Besar kecilnya partisipasi rakyat dalam pemungutan suara bukan satu-satunya tolok ukur sah tidaknya pemilu, akan tetapi besar kecilnya partisipasi rakyat dalam pemilu berpengaruh terhadap legitimasi produk politik yang dihasilkan dalam pemilihan umum tersebut. Pengetahuan masyarakat tentang calon pemimpin atau wakil rakyat serta kesadaran akan konsekuensi atas pilihannya bisa dimaksimalkan tanpa dikotori praktek-praktek inkonstitusional (money politic). Secara kuantitas data partisipasi pemilih di Kabupaten Kebumen dapat dianalisa sebagai berikut: dari jumlah DPT Kabupaten Kebumen sebesar 1.072.708 pemilih, sebanyak 900.805 (84 persen) formulir C6 diterima pemilih dan sisanya sebanyak 171.903 (16 persen) formulir C6 kembali. Pada saat pemungutan suara tedapat 778.346 (72,55 persen) pemilih yang melaksanakan haknya mencoblos di TPS yang berarti ada 122.459 (11,42 persen) penerima C6 yang tidak mencoblos. Dari data tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa pemilih yang tidak berada di Kebumen namun masih tercatat sebagai pemilih di Kebumen dan tidak mencoblos sebanyak 16 persen, sedangkan pemilih yang tercatat sebagai pemilih dan berada di Kebumen namun tidak mencoblos sebanyak 11,42 persen sehingga total pemilih yang masuk dalam DPT namun tidak mencoblos sebanyak 27, 42 persen. Angka tidak memilih yang cukup besar ini bisa disimpulkan dikarenakan 2 hal yakni pertama akibat pemilih merantau dan yang kedua karena sengaja golput. Angka agregat partisipasi pemilih di Kabupaten Kebumen yang hanya sebesar 72,55 persen dari DPT menunjukkan bahwa partisipasi pemilih di kabupaten masih dibawah target partisipsi pemilih nasional yakni sebesar 77,5 persen. Meskipun begitu angka partisipasi pada pemilu 2019 di Kabupaten Kebumen yang sebesar 72,55 persen tersebut lebih tinggi dari Pemilu 2014 (legislatif 67,26 persen; presiden 65,96 persen). Kelima, pemilu yang damai dan tanpa anarki. Indikator keberhasilan atau kualitas penyelenggaraan pemilu dapat pula dilihat dari berbagai permasalahan yang timbul dalam setiap tahapannya. Jika penyelenggara pemilu tidak secara profesional dan disiplin melaksanakan tugas, wewenang dan kewajibannya serta metode yang salah dalam proses penanganan sampai pada pengambilan keputusan atas permasalahan yang terjadi maka bisa menimbulkan polemik yang bisa jadi berujung pada sikap anarkhis sebagai wujud kekecewaan dari para pihak yang terlibat dalam permasalahan. Semakin tinggi permasalahan dan konflik yang timbul semakin menurun kualitas penyelenggaraan pemilu yang dilakukan, begitu pula sebaliknya. Penyelenggaraan Pemilu 2019 di Kabupaten Kebumen dapat berjalan secara aman dan tertib tanpa gejolak ataupun hal-hal yang berdampak pada ketidakpuasan para pihak yang berpotensi pada anarkisme. Mulai dari fasilitasi alat peraga kampanye (APK) sampai pada fasilitasi konsultasi pelaporan dana kampanye bahkan keterbukaan akses data pemilu yang sudah menjadi produk sah pemilu bisa didapatkan oleh semua pihak yang membutuhkan tanpa kesulitan apapun. Sikap yang adil dan proporsional kepada semua pihak merupakan bentuk tanggungjawab tugas yang diemban oleh KPU Kabupaten Kebumen demi kelancaran pelaksanaan seluruh tahapan sehingga tidak satupun timbul gejolak anarkis. Dari seluruh kegiatan yang dilakukan dalam rangka Pemilu 2019 penyelenggaraan pemilu di Kabupaten Kebumen dapat berjalan tertib, aman dan damai. Merujuk pada 5 indikator penyelenggaraan pemilu berkualitas diatas serta hasil kajian sederhana yang penulis uraikan, hanya indikator keempat yakni terkait pengetahuan dan kesadaran masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya saja yang kurang memenuhi capaian yang maksimal. Meskipun faktor tidak tercapainya angka target partisipasi dikarenakan tingginya pemilih yang merantau (form C6 yang dikembalikan) yakni sebesar 16 persen. Sedangkan angka golput sebesar 11,42 persen menjadi PR yang serius bagi KPU Kabupaten Kebumen untuk memberikan sosialisasi dan pendidikan kepada pemilih. Secara substantif yakni berupa pengetahuan dan pemahaman masyarakat khususnya pemilih terkait demokrasi dan pemilu masih menjadi kewajiban secara terus menerus oleh KPU Kabupaten Kebumen untuk dilaksanakan seiring eksistensi lembaga KPU. Pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang pemilu ini diharapkan mampu mewujudkan pemilu yang benar-benar berkualitas dan menghasilkan kepemimpinan dan keterwakilan yang kuat dan sesuai dengan keinginan masyarakat untuk menyejahterakan kehidupan seluruh rakyat melalui kebijakan-kebijakan yang ditetapkannya. (*)  

PEREMPUAN HARUS TERLIBAT DALAM PROSES POLITIK

Oleh: Siti Nurhayati Divisi Hukum Dan Pengawasan KPU Kabupaten Magelang Proses Demokrasi di Indonesia hingga saat ini sudah berjalan dengan baik, salah satu indikatornya adalah pemilihan umum yang berjalan dengan aman dan damai serta tingkat partisipasi pemilih sangat tinggi. Di Kabupaten Magelang sendiri pemilu berjalan sukses dengan tingkat partisipasi pemilih selalu mengalami peningkatan. Tercatat pada Pemilu 2014 tingkat partisipasi pemilih pada pemilu legislatif sebesar 82,68 persen sementara untuk pemilu presiden 79,54 persen. Keduanya meningkat pada Pemilu Serentak 2019 dimana tingkat partisipasi sebesar 85,96 persen. Pada Pemilu 2019 juga jumlah pemilih perempuan di Kabupaten Magelang tercatat cukup tinggi sebanyak 496.567 orang. Adapun pemilih laki-laki sebanyak  492.312orang. Persentase pemilih perempuan 50,21 persen ini menandakan bahwa di Kabupaten Magelang jumlah pemilih perempuan lebih banyak daripada pemilih laki-laki.  Abraham Lincoln mengatakan bahwa demokrasi merupakan suatu sistem pemerintahan yang diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Berbicara tentang rakyat tentu tidak terlepas dari kelompok laki-laki dan perempuan. Perempuan sebagai warga negara berhak untuk dipilih dan memilih, namun realitanya menunjukkan perempuan masih berada di posisi sebagai pendulang suara dalam setiap proses pemilihan umum. Bahkan hanya dijadikan objek untuk kepentingan partai politik sebagai pendulang suara terbesar. Perempuan masih belum memiliki kesadaran bagaimana harus memilih dan bagaimana memilih pemimpin yang baik yaitu memilih pemimpin yang mempunyai kepekaan terhadap isu-isu keperempuanan seperti masalah angka kematian ibu dan anak, stunting, pemberian ASI eksklusif, kesehatan reproduksi perempuan, anak dan gizi serta isu lainnya. Dari hal-hal tersebut diatas sudah saatnya perempuan ikut andil terlibat secara aktif dalam proses politik baik ditingkat lokal maupun ditingkat nasional. Sebagai penduduk mayoritas dinegeri ini sudah saatnya perempuan terlibat secara langsung memperjuangkan isu-isu diatas. Ironis ketika wajah negeri ini didominasi masih tingginya kekerasan terhadap perempuan, meningkatnya angka kematian ibu dan anak atau tingginya angka putus sekolah dikalangan perempuan. Minimnya perempuan dalam pengambilan kebijakan menunjukkan bahwa perempuan belum menjadi bagian yang penting dalam proses pembangunan di negeri ini. Yang kedua masih minimnya anggota DPR/DPRD perempuan ini berdampak pada sedikitnya kebijakan yang dihasilkan untuk meningkatkan kesejahteraan perempuan belum lagi masih terdapat anggota DPR/DPRD yang kurang memiliki kesadaran dan sensitivitas terhadap pemenuhan kebutuhan perempuan sehingga mengakibatkan sedikitnya  produk kebijakan yang berpihak pada perempuan. Terakhir masih minimnya program pendidikan politik untuk perempuan sehingga perempuan masih kurang mendapat akses pendidikan politik. Sudah saatnya perempuan-perempuan yang ada dinegeri ini untuk bisa ikut ambil bagian dalam proses politik, karena hanya perempuanlah yang mampu memahami dan mengerti tentang masalah-masalah keperempuanan. (*)

DANA PARTISIPASI PEMILIH HAPUS POLITIK UANG?

Oleh: Wandyo Supriyatno Anggota KPU Kabupaten Klaten Divisi Sosdiklih, Parmas dan SDM Salah satu hal menarik dalam perjalanan pemilu di Indonesia, khususnya pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 22-24/PUU-VI/2008 adalah maraknya dugaan politik uang. Penulis menyebut dugaan, karena walau dikatakan marak, faktanya dalam pelaksanaan penegakan hukum pemilu, hampir tidak pernah ada putusan yang membatalkan terpilihnya seorang calon legislatif yang telah diputuskan terpilih dalam pleno KPU. Hal ini karena salah satunya Bawaslu mengalami kesulitan untuk menemukan bukti dan fakta  yang mengarah pada dugaan adanya politik uang sehingga peristiwa atas dugaan tersebut menjadi peristiwa hukum yang sulit dimintai pertanggungjawaban hukum kepada pelaku. Dugaan adanya politik uang telah menjadi momok dan racun demokrasi, apalagi semenjak tahun Pemilu 2009 digelar. Kenapa marak semenjak 2009, karena semenjak pemilu di tahun itulah, kontenstasi politik bukan hanya antar partai politik, tetapi sudah masuk ke intern calon disatu partai politik. Masing-masing calon berlomba mendapatkan suara terbanyak sehingga mempunyai peluang terpilih menjadi anggota legislatif. Adapun pada pemilihan kepala daerah yang (sepertinya) dimulai ketika pemenang ditentukan dengan suara terbanyak absolut. Artinya, siapapun yang mendapatkan suara terbanyak dinyatakan sebagai pemenang, tanpa memakai persyaratan 50 persen + 1 atau persyaratan jumlah tertentu, sebagaimana dituangkan dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Politik uang disebabkan beberapa faktor;  Pertama kemiskinkan. Sebagai mana yang kita telah ketahui, angka kemiskinan di Indonesia ini sudah sangat tinggi. Kondisi ini kadang memaksa sebagian masyarakat untuk segera mendapat uang. Ditengah keterbatasan ini, politik uang justru muncul dan membuat masyarakat mengambilnya. Mereka terkadang mereka tidak pikirkan konsekuensi dari uang yang diterima itu bagian dari suap dan jual beli suara yang jelas melanggar hukum. Kedua rendahnya pengetahuan masyarakat. Tidak semua orang tahu apa itu politik, bagaimana bentuknya serta apa yang ditimbulkan dari politik. Itu semua bisa disebabkan karena tidak ada pembelajaran (yang cukup) tentang politik di sekolah-sekolah atau masyarakatnya sendiri yang memang acuh terhadap politik. Kondisi ini menyebabkan maraknya politik uang. Masyarakat yang acuh dengan pemilu atau pemilihan dengan mudah menerima pemberian dari para peserta pemilu.  Ketiga kebudayaan. Ungkapan rejeki tidak boleh ditolak kadang jadi alasan masyarakat menerima politik uang. Pemberian dari peserta pemilu dianggap sebuah rejeki. Budaya sejatinya merupakan sesuatu yang luhur namun justru melenceng dan disalahartikan oleh masyarakat. Berdasarkan data empiris dan informasi penulis dapatkan, maka penulis mencetuskan ide Negara harus secepatnya bertindak dan bersikap untuk mencegah pemilu/pemilihan di 2024 dan sesudahnya agar tidak terjadi lagi maraknya dugaan politik uang, dengan melakukan kebijakan pemberian dana partisipasi pemilih. Dana partisipasi pemilih yang bias disingkat dengan  Daparlih, diberikan kepada pemilih yang hadir memberikan hak suaranya di TPS. Pemilih setelah selesai memilih, mendapatkan Daparlih yang diberikan melalui KPPS sebesar Rp 100.000/pemilih. Dengan Daparlih sebesar itu setidaknya negara perlu menyiapkan anggaran Rp200 Triliun dengan estimasi DPT 200 juta pemilih. Agar tidak memberatkan negara bisa menabung Rp40 Triliun untuk Daparlih ini yang pada tahun kelima terkumpul Rp200 Triliun. Apakah dengan diberikan Daparlih ada jaminan money politik akan hilang? Suatu pertanyaan yang akan muncul jika ide Daparlih ini dicetuskan, termasuk ketika penulis wacanakan ketika diskusi dengan teman-teman magister hukum di Unisri. Ini upaya akhir dan agar memberikan manfaat yang maksimal, maka uoaya lain juga harus ditingkatkan kualitasnya. Hukuman bagi calon yang  terbukti melakukan politik uang diancam dengan pembatalan hasil dan jika terlanjut dilantik perbuatan politik uang itu baru ketahuan kemudian, maka Bawaslu harus berani bersidang dan memutuskan memberikan rekomendasi kepada KPU untuk membatalkan SK penetapan sebagai calon terpilih. Beranikah kita mencoba ??? Kita tunggu political will dari pemerintah saat ini. (*)

PEREMPUAN DALAM PEMILU 2019, ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN

Oleh: Siti Nurhayati Anggota KPU Kabupaten Magelang Divisi Hukum dan Pengawasan Sebanyak 575 anggota DPR RI 2019-2024 terpilih resmi dilantik dan diambil sumpahnya pada 1 Oktober 2019 lalu. Dari jumlah itu sebanyak 463 orang (80,52 persen) adalah laki-laki dan 112 orang (19,48 persen) perempuan. Pada pemilu serentak pertama ini terjadi peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen bahkan jika ditarik lebih kebelakang jumlahnya jadi yang tertinggi dibanding pemilu-pemilu sebelumnya. Kita bisa lihat pada Pemilu 1999 jumlah anggota DPR RI perempuan yang terpilih sebanyak 44 orang (9 persen), angkanya meningkat di Pemilu 2004 menjadi 65 orang (11,3 persen). Di pemilu berikutnya, 2009 keterwakilan perempuan meningkat kembali menjadi 100 orang (18 persen), namun di Pemilu 2014 angkanya sempat menurun menjadi 97 perempuan (17 persen) yang lolos ke Senayan. Kita patut berbahagia bahwa peningkatan kembali terjadi di Pemilu 2019 dimana anggota dewan dari perempuan mencapai 112 (19,48 persen). Lalu apa yang menjadi sebab angka keterpilihan perempuan diparlemen 2019 relatif meningkat dari tahun ke tahun. Pertama kita lihat dari segi hak politik, keikutsertaan perempuan  dirumuskan pertama kalinya dalam UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang pemilu. UU tersebut memberi peluang baru dengan menetapkan Pasal 65 ayat 1 bahwa setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memerhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen. Regulasi yang dibuat oleh pemangku kebijakan untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dalam pemilu 2019 sudah sangat banyak di antaranya keterwakilan perempuan 30 persen dalam pencalonan legislatif. Bahkan dalam UU Pemilu Nomor 7 tahun 2017 ditegaskan dalam Pasal 246 ayat 2 bahwa daftar calon anggota legislatif memuat 3 orang bakal calon terdapat paling sedikit 1 orang perempuan bakal calon. Namun realitanya belum banyak perempuan yang mampu bersaing dalam berebut kursi legislatif. Kedua di Indonesia hak untuk memilih dan dipilih setara baik untuk laki-laki dan perempuan. Kesetaraan ini bahkan sudah berlaku sejak 1995 sampai sekarang. Namun yang perlu dilihat mengapa keterwakilan perempuan jauh dibawah keterwakilan anggota parlemen dari laki-laki, mari kita lihat. Pada pemilu legislatif 2019 terdapat 7.968 orang yang terdaftar sebagai caleg, jumlah tersebut berasal dari 20 partai politik yang mengikuti pileg 2019. Dari jumlah tersebut tercatat 4.774 caleg laki-laki dan 3.194 caleg perempuan. Proporsi ini tentunya sudah memenuhi kuota 30 persen caleg perempuan seperti yang diatur dalam Undang-Undang Pemilu nomor 7 tahun 2017. Caleg-caleg perempuan tersebut diharapkan dapat menjadi harapan terkait berbagai masalah atau isu perempuan di Indonesia seperti kekerasan dalam perempuan, kesehatan reproduksi, perkawinan perempuan dibawah umur dan lain sebagainya. Mereka diharapkan dapat menjadi corong dan mau memperjuangkan berbagai kebijakan untuk mengembangkan dan perlindungan perempuan. Mengapa tidak banyak Anggota DPR Perempuan? Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2019 secara nasional berjumlah 192.828.520 yang terdiri dari 190.770.329 pemilih dalam negeri dan 2.058.191 pemilih luar negeri. Jumlah pemilih perempuan paling banyak dibandingkan dengan jumlah pemilih laki-laki. Untuk Pemilih dalam negeri saja pemilih perempuan sebanyak 95.401.580 orang sedangkan jumlah pemilih perempuan yang ada diluar negeri sebanyak 1.155.464 orang. Sangat disayangkan memang bila melihat jumlah pemilih di Indonesia mayoritas adalah perempuan dengan jumlah pemilih sejumlah 96.557.044 orang hanya mampu mewakilkan 112 orang perempuan di parlemen. Dari 3.194 caleg perempuan yang berkompetisi di pileg tahun 2019 ini hanya 3,5 persen saja yang lolos ke senayan. Ini menandakan bahwa belum semuanya pemilih perempuan yang ada di negeri ini memilih caleg perempuan. Di sisi lain, perempuan sendiri menganggap bahwa politik adalah dunia lelaki dan kotor yang penuh dengan korupsi. Selain itu juag faktor Budaya, agama, dan sosial juga merupakan  salah satu hambatan yang mempersulit perempuan masuk dalam parlemen. Jadi pekerjaan rumah (PR) besar untuk partai politik kedepan adalah mampu mendapatkan kandidat caleg perempuan yang potensial untuk memenangkan pemilu legislatif dan khususnya untuk perempuan-perempuan yang terjun di dalam politik mampu menunjukkan bahwa caleg perempuan layak untuk dipilih karena kapasitas dan kapabilitas yang dimilikinya bukan semata-mata hanya pelengkap dari kuota 30 persen keterwakilan di parlemen saja. (*)

Populer

Belum ada data.